Hastjarjo (1999) yang mengutip pendapat Chance mengatakan bahwa belajar adalah perubahan perilaku akibat pengalaman, sebab tidak mungkin mengukur potensialitas perilaku. Oleh karena itu kita harus merumuskan belajar dalam terminologi perubahan perilaku yang nampak. Perilaku dapat dirumuskan secara tepat dalam istilah respon. Suatu respon merupakan tindakan tertentu atau sejumlah tindakan tertentu atau sejumlah tindakan yang dilakukan oleh otot-otot (muscles) atau kelenjar (gland). Misalnya rasa takut dapat diartikan la-in oleh banyak orang, kalau diukur dengan “tangisan”, toh masih banyak penafsiran juga, oleh karena itu rasa takut lebih baik dirumuskan sebagai produksi suara vokal lebih besar dari 90 desibel. Dalam kasus yang lain Skinner menyatakan bahwa tidak perlu ada variabel antara (intervening variable.), misalnya :
1. Lama Deprivasi ----------------------------> laju menekan pedal untuk minum
2. Lama Deprivasi ------ rasa haus ---------> laju menekan pedal untuk minum
Pada kasus 1. lama deprivasi air atau lamanya tikus tidak minum, merupakan variabel independen, sedangkan laju perilaku menenkan pedal atau berapa kali tikus menekan pedal
per satuan waktu, merupakan variabel dependen. Kita bisa menentukan hubungan yang teratur antara lamanya deprivasi minum dengan laju menekan pedal. Akan tetapi banyak ahli lebih suka kasus ke 2. yaitu membuat postulat tentang rasa haus. Lamanya deprivasi air akan membuat tikus merasa haus, dan rasa haus akan menyebabkan tikus menekan pedal lebih sering untuk mendapatkan minuman.
Rasa haus akan menjadi variabel intervening. Variabel rasa haus menjadikan teori menjadi lebih kompleks, oleh karena harus ada dua hubungan, pertama ; hubungan antara lama deprivasi air dengan rasa haus, kedua; hubungan antara rasa haus dengan laju menekan pe-dal. Seandainya kedua pendekatan ini sama-sama mampu memprediksi perilaku. maka me-nurut prinsip simplisitas/parsimoni maka kasus 1. harus lebih dipilih.
Skinner mengkritik pendapat di atas, bahwa penggunaan variabel intervening sangat berbahaya oleh karena konsep tersebut membodohi kita seolah-olah kita telah menemukan penyebab perilaku padahal variabel intervening sebenarnya hanyalah suatu wujud yang tak dapat dilihat dan bersifat hipotetis.
Mazur yang mengutip pendapar Neal Miller (dalam Hastjarjo, 1999), menyatakan bah-wa variabel intervening akan berguna jika terdapat sejumlah variabel independen dan dependen, misalnya :
1. Lamanya deprivasi --------------------------> laju menekan pedal untuk minum
- Makanan kering --------------------------> banyaknya air yang diminum
- Suntikan saline -------------------------> toleransi terhadap kinina
2. Lamanya deprivasi laju menekan pedal untuk minum
- Makanan kering -----> rasa haus -----> banyaknya air yang diminum
- Suntikan saline toleransi terhadap kinina
Pada kasus 1. harus ada sembilan rumus terpisah mengenai hubungan antara tiga variabel independen dengan tiga variabel dependen, sedangkan dalam kasus 2, hanya dibutuh-kan enam hubungan sebab-akibat, yakni tiga hubungan antara variabel independen dengan rasa haus dan tiga hubungan antara rasa haus dengan tiga variabel dependen.
Perdebatan mengenai perlunya variabel intervening masih berlanjut, dan sebenarnya pada dewasa ini perbedaan yang ada hanyalah pada kadar pemakaian saja : Sejauh mana seseorang pakar memakai variabel intervening secara hati-hati atau secara lebih bebas.
Hergenhan & Olson menulis pula bahwa kebanyakan ahli psikologi belajar memandang belajar sebagai suatu proses yang mengantarai (mediator) perilaku. Belajar adalah hasil pengalaman dan mendahului perubahan perilaku, dengan pengertian ini, maka belajar memiliki kedudukan sebagai variabel intervening, satu proses teoritis yang terjadi diantara stimulus dan respon. Variabel independen akan mengubah variabel intervening (belajar) dan pada akhirnya akan mengubah variabel dependen (perilaku). Proses ini akan terformulasikan sebagai berikut :
Variabel Independen -------> Variabel Intervening --------> Variabel Dependen
Pengalaman -------> Belajar ----------> Perubahan Perilaku
Tarpy (dalam Hartjarjo, 1999) mengatakan bahwa belajar seringkali dibedakan dengan performan. Belajar adalah satu perubahan internal yang disimpulkan, belajar adalah proses terciptanya potensi perilaku atau kapasiatas respon. Performan adalah perilaku yang nampak itu sendiri. Performan adalah hasil akhir, hasil penerjemahan potensi perilaku ke dalam tindakan nyata. Performan merupakan sebuah indeks dari belajar, kedua proses tersebut berdiri sendiri, misalnya : (a) Performan ada, belajar tidak ada, (b) Belajar ada, performan tidak ada.
No comments:
Post a Comment