Latar Belakang
Disangkal atau-pun tidak, prostitusi adalah 
hal jamak di dunia ini. Prof. Koentjoro dalam bukunya yang berjudul 
Tutur dari Sarang Pelacur (Vano2000, 2008) mengatakan bahwa pelacuran 
sudah ada sejak lama, serupa dengan yang diungkapkan Hull (dalam 
Wakhudin, 2006) bahwa pelacuran di Indonesia sudah ada sejak jaman 
kerajaan-kerajaan jawa. Memang penelitian dari profesor yang berasal 
dari Universitas Gajah Mada itu berada pada konteks Indonesia, akan 
tetapi hal yang sama dengan yang disampaikan oleh Andaya (1998) bahwa 
prostitusi sudah ada sejak abad 16 di Asia Tenggara. Penelitian lainnya 
mencatat prostitusi ada di India di tahun 1864-1883 (Chatterjee, 1992) 
dan juga Korea di abad 20-an (Lie, 1995).  
Koran kuning yang ada 
di Indonesia, tak luput pula memuat berita tentang prostitusi. 
Iklan-iklan yang menawarkan bisnis seks, baik yang terselubung atau 
tidak, juga selalu bisa ditemukan di surat kabar itu. Di forum-forum 
internet pun banyak yang menawarkan bisyar (akronim yang merujuk pada 
perempuan yang bisa dibayar alias pekerja seks komersial) plus field 
report (ulasan) untuk tiap skill seksualnya mulai dari handjob, blowjob,
 dan lain-lainnya, juga tempat-tempat yang menyediakannya, mulai dari 
wisma, salon, panti pijat, hingga club. Begitu pula di chatroom dan 
jejaring sosial banyak yang terang-terangan menjajakan dirinya. Jawa Pos
 pada 18 dan 19 Mei 2008 memberikan ulasan tentang kegiatan prostitusi 
yang dilakukan oleh remaja atau ayam abu-abu. Azalleaislin (2010) 
menuturkan bahwa minimal di satu sekolah ada satu prostitute berseragam.
 
Fenomena pelacuran ini terjadi di berbagai daerah. Sedikit 
diantaranya adalah di Kediri (Rsd, 2007), Bandung (Hoofdredacteur, 
2007), Pasuruan (Arifin, 2010). Bukan berarti di kota lain tidak ada, 
tentu saja ada. Kegiatan ini ibarat gunung es, yang tampak di permukaan 
hanya sebagian kecil dari keberadaan sesungguhnya.   
Prostitusi 
atau bagi beberapa orang disebut bisnis lendir ini juga terjadi di Pati,
 bahkan di daerah yang cukup jauh dari pusat kota Pati, sekitar 36 km. 
Daerah di sebelah utara Pati yang bernama Dukuhseti itu telah lama 
dikenal sebagai daerah penghasil pelacur. Prof. Koentjoro (dalam 
Soeriwidjaja dan Margono, 1989) menguraikan bahwa prostitusi disana 
justru terjadi dari satu rumah ke rumah lainnya. Lalu mengapa di desa 
yang ada di pinggir pulau Jawa terjadi bisnis seperti itu? Mengapa 
banyak perempuan, tidak hanya di Dukuhseti saja, yang masuk ke dunia 
prostitusi?
Apakah yang terjadi di Dukuhseti, dan juga daerah 
lainnya, karena adanya permintaan, seperti halnya hukum supply and 
demand sesuai dengan yang diyatakan oleh Brewer, Muth, dan Potterat, 
(2008)? Ataukah mereka melacur karena tekanan ekonomi? 
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang akan dijawab pada penelitian ini.
Fokus Penelitian
Berkaitan
 dengan pelacuran yang ada di Dukuhseti, maka fokus penelitian ini 
adalah pada apa yang melatarbelakangi terjadinya praktek prostitusi atau
 pelacuran. 
Tujuan Penelitian
Secara umum, 
penelitian ini diadakan dengan tujuan untuk mengetahui alasan-alasan 
mengapa seseorang terjun ke dunia prostitusi. Secara khusus, studi ini 
dilakukan untuk memenuhi tugas mata kuliah psikologi sosial, di program 
magister psikologi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
Manfaat Penelitian
Dengan
 mengetahui alasan-alasan seseorang ketika menjadi prostitute, penulis 
mengharapkan hasil penelitian ini bisa menjadi masukan untuk menentukan 
langkah menghadapi fenomena sosial itu.
Kerangka Konseptual
Pengertian prostitusi dan prostitute
Pelacuran
 yang sering disebut sebagai prostitusi (dari bahasa Latin pro-stituere 
atau prostauree) berarti membiarkan diri berbuat zina, melakukan 
persundalan, pencabulan dan pergundakan (Kartono, 1981). Sementara itu 
Bonger (1950) mengatakan prostitusi adalah gejala kemasyarakatan dengan 
wanita penjual diri melakukan perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata 
pencaharian. 
Sedangkan P.J deBruine van Amstel 
menyatakan prostitusi adalah penyerahan diri dari wanita kepada banyak 
laki-laki dengan pembayaran. Sejalan dengan itu pula, Iwan Bloch 
berpendapat, pelacuran adalah suatu bentuk perhubungan kelamin di luar 
pernikahan dengan pola tertentu, yakni kepada siapapun secara terbuka 
dan hampir selalu dengan pembayaran baik untuk persebadanan maupun 
kegiatan seks lainnya yang memberi kepuasan yang diinginkan oleh yang 
bersangkutan. 
Sementara itu Commenge mengatakan 
prostitusi atau pelacuran itu adalah suatu perbuatan seorang wanita 
memperdagangkan atau menjual tubuhnya, yang dilakukan untuk memperoleh 
bayaran dari laki-laki yang datang; dan wanita tersebut tidak ada 
pencaharian nafkah lainnya kecuali yang diperolehnya dari perhubungan 
sebentar-sebentar dengan banyak orang. Hal yang hampir sama disampaikan 
oleh Moeliono bahwa  pelacuran adalah penyerahan badan wanita dengan 
menerima bayaran kepada orang banyak guna pemuasan nafsu seksual 
orang-orang itu.
Berdasarkan Pola Dasar Pembangunan 
Kesejahteraan Sosial tahun 1996, wanita tuna susila adalah seorang 
wanita yang melakukan hubungan seksual di luar pernikahan denga tujuan 
untuk mendapatkan imbalan jasa. Dari segi agama, pelacuran merupakan 
perbuatan perzinahan karena melakukan hubungan seks di luar pernikahan. 
Pada umumnya setiap agama menentang perbuatan zina. Dalam agama Islam, 
larangan berzina tercantum dalam Al Qur’an surat Al Isra ayat 32 dan 
surat An Nur ayat 2, didalam ayat-ayat tersebut ditekankan, bahwa 
berzina merupakan dosa besar, perbuatan terkutuk dan sangat keji.
Semua
 yang disebutkan di atas adalah beberapa batasan mengenai prostitusi 
atau pelacuran yang dikemukakan oleh para ahli, lembaga pemerintah dan 
dari segi agama. Jadi, yang dimaksud dengan prostitusi, pelacuran, 
penjajaan seks atau persundalan adalah kegiatan penyerahan tubuh oleh 
wanita kepada banyak laki-laki dengan imbalan pembayaran guna disetubuhi
 dan sebagai pemuas nafsu seks si pembayar, yang dilakukan di luar 
pernikahan. Sedangkan yang dimaksud prostitute, pelacur, wanita tuna 
susila, wanita penjaja seks adalah wanita yang pekerjaannya menjual diri
 kepada siapa saja atau banyak laki-laki yang membutuhkan pemuasan nafsu
 seksual, atau dengan kata lain, adalah wanita yang melakukan hubungan 
seksual dengan banyak laki-laki di luar pernikahan dan si wanita 
memperoleh imbalan uang dari laki-laki yang menyetubuhinya. 
Pandangan-pandangan tentang prostitusi
Para
 ahli ilmu sosial sepakat mengkategorikan pelacuran ke dalam “patologi 
sosial” atau penyakit masyarakat yang harus diupayakan 
penanggulangannya. Patologi sosial adalah ilmu tentang gejala-gejala 
sosial yang dianggap “sakit”, disebabkan oleh faktor-faktor sosial. 
Menurut Kartini Kartono (1981), patologi sosial adalah semua tingkah 
laku yang bertentangan dengan norma kebaikan, stabilitas lokal, pola 
kesederhanaan, moral, hak milik, solidaritas kekeluargaan, hidup rukun 
bertetangga, disiplin kebaikan dan hukum formal. Aktivitas menjajakan 
seks atau pelacuran dipandang masyarakat sebagai sisi hitam dari 
kehidupan sosialnya. Warna pandangan ini menyebabkan kita melihat 
semacam keremang-remangan dalam kehidupan pelacuran.
Meskipun
 demikian dianggap buruk, pada kenyataanya fenomena prostitusi sudah ada
 sejak dulu. Dalam memandang masalah pelacuran ini ada semacam double 
standard atau standar ganda. Seperti yang dikatakan oleh Dr. J. Verkuyl 
(dalam Hull, Sulistyaningsih dan Jones; 1997) baik dahulu maupun 
sekarang kita sering berhaluan dua. Kita melarang pelacuran, tetapi 
sebaliknya kita terima juga sebagai sesuatu yang tak dapat dielakkan. 
Bagaimanapun pandangan masyarakat terhadap kehidupan pelacuran, 
kenyataan tetap membuktikan bahwa pelacuran dalam sistem sosial 
masyarakat kehadirannya sejak berabad-abad yang lalu dan tiada satu 
kekuatanpun yang mampu menghapusnya dari muka bumi ini. 
Sejarah prostitusi di Dukuhseti
Adanya
 praktek pelacuran di Desa Dukuhseti dan Desa Kembang Kecamatan 
Dukuhseti Kabupaten Pati, Propinsi Jawa Tengah dikarenakan adanya 
beberapa peristiwa yang terjadi, yaitu adanya pekerja migran orang-orang
 Cina yang datang melalui Pelabuhan Juwana yang jaraknya dekat dengan 
Desa Dukuh Seti. Pekerja migran lain adalah datangnya orang-orang 
Portugis yang dapat dilihat dengan adanya bangunan Benteng Portugis. 
Para pekerja ini lalu tinggal lama di desa itu dan banyak berhubungan 
dengan wanita-wanita di sekitar mereka tinggal dan ada pula yang 
menikahi wanita-wanita tersebut. Selain pekerja migran dari luar negeri 
juga banyak terdapat pekerja migran yang berasal dari daerah lain dengan
 didirikannya pabrik gula, perkebunan karet dan jati. 
Penyebab
 lain tumbuh suburnya pelacuran sejak adanya kampanye partai politik 
yang dimulai tahun 1972 dimana bila ada pejabat-pejabat yang datang baik
 dari kabupaten atau yang lebih tinggi maka gadis-gadis di desa tersebut
 diminta menjadi pagar betis upacara-upacara tertentu, tetapi kemudian 
atas perintah Kepala Desa juga dijadikan pemuas nafsu pejabat-pejabat 
tadi. Kejadian tersebut berlangsung terus dan akhirnya mereka menjadi 
pelacur karena ada iming-iming mendapat uang banyak. Di Dukuhseti, 
pialang seks malah bergerak leluasa. 
Di desa ini Prof.
 Koentjoro pernah melakukan penelitian dengan berdiam di desa tersebut 
selama beberapa bulan. Di situ ia melihat lebih jelas bahwa kesulitan 
ekonomi bukanlah faktor dominan yang mendorong wanita jadi pelacur. Yang
 malah sangat menentukan adalah faktor budaya. Dan ini terkait pada 
sebuah legenda yang sampai sekarang masih hidup di masyarakat sana. 
Syahdan,
 menurut legenda, dahulu kala ada seorang bernama Brojoseti. Tokoh 
pendiri desa ini beristrikan wanita yang amat cantik. Namun, sang istri 
cantik ternyata main serong dan kepergok suaminya. Brojoseti murka: 
Kutukannya jatuh pada keturunan si istri beserta seluruh isi kampung, 
yang mulai saat itu akan senantiasa berbuat serong (Hull, 
Sulistyaningsih dan Jones, 1997). Dan rakyat masih sangat percaya akan 
cerita ini. Tapi mungkin juga itu hanya satu justifikasi untuk 
melembagakan budaya serong. Yang pasti, mereka sangat longgar, sejauh 
yang menyangkut hubungan seks. Bagi mereka, melacur itu sudah merupakan 
suratan takdir. 
Motivasi dalam berprostitusi
Tjahjo Purnomo dan Ashadi Siregar (1983) bahwa faktor-faktor yang menyebabkan seorang wanita melacurkan diri antara lain :
- Tekanan ekonomi, karena tidak ada pekerjaan terpaksa mereka hidup menjual diri sendiri dengan jalan dan cara yang paling mudah
 - Karena tidak puas dengan posisi yang ada. Walaupun sudah mempunyai pekerjaan tapi belum puas juga karena tidak membeli barang-barang perhiasan yang bagus dan mahal
 - Karena kebodohan, tidak mempunyai pendidikan atau intelegensi yang baik
 - Cacat jiwa
 - Karena tidak puas dengan kehidupan seksualnya atau hiperseksual
 
Sedangkan Kartono (1981) menjelaskan adanya beberapa faktor yang menjadi penyebab timbulnya prostitusi antara lain: 
- Longgarnya peraturan/perundangundangan yang melarang pelacuran seperti dalam KUHP. Pelaksanaan Undang-Undang ini kenyataannya dapat dijadikan sumber pendapatan bagi pihakpihak tertentu atau dijadikan alat untuk memeras mereka
 - Adanya keinginan dan dorongan manusia untuk menyalurkan kebutuhan seks
 - Komersialisasi dari seks
 - Dekadensi moral, merosotnya anormanorma susila dan nilai-nilai agama
 - Perkembangan kota-kota, daerah pelabuhan dan industrialisasi yang sangat cepat
 - Bertemunya bermacam-macam kebudayaan asing dan kebudayaan daerah.
 
Selain itu, Simanjuntak (1981) juga memapaerkan sejumlah faktor penyebab terjadinya pelacuran. Faktor-faktor itu antara lain :
a.  Faktor sosial
Berlangsungnya
 perubahanperubahan sosial yang cepat dan perkembangannya tidak sama 
dengan kebudayaan mengakibatkan ketidakmampuan orang-orang untuk 
menyesuaikan
diri dengan perubahan sosial yang dihadapinya. 
Seringkali ditemui masalah sosial yang berbentuk keresahan individu, 
tingkah laku abnormal atau menyimpang, penampilan-penampilan peran 
sosial yang kurang wajar atau memadai, serta beberapa identitas lain 
yang dikatakan menyimpang seperti terdapat dalam kriminalitas, penyakit 
mental dan sebagainya.
b.  Faktor psikologis
Berbagai 
kelemahan jiwa tertentu yang dialami oleh seseorang baik yang berwujud 
ketidakstabilan maupun tindakan penyesuaian diri yang negatif, 
seringkali banyak diakibatkan oleh kekecewaan atau terjadinya kepahitan 
hidup pada saat-saat atau kejadian yang telah lampau dapat mengakibatkan
 seseorang terjerumus dalam kegiatan pelacuran.
c.  Faktor ekonomis
Manusia
 adalah makhluk sosial yang didalam hidupnya berhubungan dengan orang 
lain. Hal itu dilakukan dalam rangka memenuhi kehidupan yaitu untuk 
mempertahankan kelangsungan hidup dalam lingkungannya. Demikian 
sebaliknya kondisi lingkungan turut mempengaruhi tindakan-tindakannya 
dalam berhubungan dengan orang lain. Kondisi lingkungan seperti ini 
dapat mengakibatkan seseorang menjadi pelacur.
d.  Faktor biologis
Dengan
 meningkatnya unsur seorang wanita, maka organ-organ maupun hormon seks 
akan semakin matang, sehingga dorongan seksnya tidak terpuaskan dapat 
mengakibatkan terjerumus dalam kegiatan pelacuran.
f.  Faktor-faktor lain
Faktor-faktor
 lainnya seperti rendahnya tingkat pendidikan, kondisi psiko-seksual 
yang luar biasa dan hiperseks banyak menimbulkan seseorang terjerumus 
dalam praktek pelacuran.
Hal yang berbeda dinyatakan 
oleh Flowers (dalam Miller, 2000) prostitusi (remaja) dilatar belakangi 
peristiwa larinya dia dari rumah, keterlibatan germo yang 
memanfaatkannya, dan pelecehan atau kekerasan yang dialaminya sewaktu 
kecil. Flowers juga menyebutkan hubungan antara industri pornogafi dan 
“perdagangan seks global”.  
Metodologi
Di 
awal penelitian, responden dalam penelitian ini sudah disediakan oleh 
Prof. Koentjoro. Jadi, penulis tidak mencari sendiri. Selain itu, 
penulis juga tidak menjelaskan tentang penelitian yang akan dilakukan, 
karena sejak awal mereka, saat berada di tempat wawancara, sudah 
mengetahui tujuan keberadaannya disitu. 
Latar
Penelitian
 tentang motivasi dalam menjadi prostitute ini dilakukan di Dukuhseti. 
Lokasinya terletak di Kecamatan Dukuhseti, Kabupaten Pati, dan Provinsi 
Jawa Tengah. Kecamatan Dukuhseti merupakan daerah dataran rendah dan 
berada di pesisir laut Jawa. Berdasarkan data tahun 2006, kecamatan 
Dukuhseti berpenduduk sebanyak 57.723 jiwa yang terdiri atas 29.184 jiwa
 berkelamin laki-laki dan 28.539 berkelamin perempuan . Selain terdapat 
pantai, juga terdapat sedikit lahan sawah tadah hujan, kebun, dan hutan.
 Sebagian lain penduduknya bekerja di sektor jasa, produksi genteng, dan
 sebagian kecil membuka usaha mebel kayu.
Subyek Penelitian
Subyek
 penelitian tentang motivasi dalam menjadi prostitute ini adalah 
orang-orang yang berada di sekitar dunia itu, yaitu tiga orang female 
prostitute, satu male prostutute, dan satu orang yang istrinya menjadi 
prostitute. 
Jenis Data
Kata-kata yang berasal dari wawancara menjadi jenis data yang digunakan dalam penelitian ini. 
Metode Pengumpulan Data
Orang-orang
 yang menjadi sumber data diwawancarai dengan menggunakan petunjuk umum 
wawancara. Menurut pendekatan ini interviewer hanya membuat kerangka dan
 garis besar pertanyaan, sedang urutan dan pemilihan kata-kata bisa 
berbeda di tiap wawancara yang dilakukan (Moleong, 2008). Ketika 
wawancara dilakukan, pewawancara mencatat garis besar jawaban dari 
interviwee. 
Metode Keabsahan Data
Untuk memperoleh keabsahan data peneliti melakukannya dengan berbagai hal:
a. Ketekunan/keajegan pengamatan
Disini
 penulis berusaha menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang
 sangat relevan dengan motivasi seseorang saat masuk ke dunia 
prostitusi.
b. Triangulasi
Penulis membandingkan data dengan melakukan wawancara bersama warga sekitar.
c. Pengecekan anggota
Tahap ini dilakukan dengan meminta tanggapan interviwee akan hasil wawancara interviewee lainnya.
Metode Analisa
Proses
 analisa dilakukan dengan mencatat hasil wawancara dan memilah-milah 
tiap bagian yang memiliki kesamaan. Setelah itu, peneliti menganalisa 
tema yang muncul dengan mencari hubungan antara satu kategori dengan 
kategori lainnya. 
Analisa
Di Indonesia tidak 
ada satupun pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang secara 
tegas mengancamkan pidana terhadap para pelacur. Hanya ada 3 pasal yang 
mengancamkan hukuman pidana kepada siapapun yang pencaharian atau 
kebiasaannya dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul 
dengan orang lain (germo), ini diancam dalam Pasal 296 KUHP. Kemudian 
yang memperniagakan perempuan (termasuk laki-laki) yang belum dewasa, 
terdapat dalam pasal 297 KUHP. Dan yang terakhir adalah souteneur, yaitu
 ‘kekasih’ atau pelindung yang kerap kali juga berperan sebagai 
perantara atau calo dalam mempertemukan pelacur dan langganannya dan 
mengambil untung dari pelacuran, diancam dalam pasal 506 KUHP 
(Soesilo,1964). Sehingga dengan demikian si pelacur sendiri tidak secara
 tegas diancam oleh hukum pidana, karena memang prostitution itself is 
not a crime (Winn, 1974).
Dari wawancara yang dilakukan
 kelima reponden, kesemuanya memiliki unsur-unsur yang sama, yaitu 
faktor ekonomi. Akan tetapi, jika miskin menjadi penyebab, mengapa semua
 perempuan yang miskin tidak menjadi pekerja seks komersial? Dari situ 
bisa diketahui bahwa masalah ekonomi bukanlah satu-satunya variabel yang
 berperan.
Saat penulis berusaha mengkonfrontir bahwa 
uang bukanlah satu-satunya pendorong, interviewee dengan cepat langsung 
membantah bahwa hanya hal tersebut pencetusnya. Kemudian, penulis 
bertanya apakah responden mematok masa kapan dia akan berhenti dari 
dunia prostitusi. Mereka menyatakan ketika anak mereka sudah besar. 
Tersirat, hal itu menyatakan bahwa kebutuhan akan uang bukan 
satu-satunya hal. Karena sudah pasti saat anak mereka besar, kebutuhan 
juga akan semakin banyak, yang berarti uang yang diperlukan semakin 
banyak pula. Apalagi juga belum tentu saat itu mereka sudah 
berkecukupan. Penulis keesokan harinya setelah wawancara mengadakan 
pengecekan ke warga sekitar dan dia menyatakan bahwa yang menjadi 
pelacur itu karena suaminya males. Disini ada hal yang bertolak belakang
 antara pernyataan interviewee yang prostitute dan warga sekitar. 
Jika
 dibandingkan dengan penelitian Prof. Koentjoro sebelumnya yang 
menyatakan bahwa faktor budaya menjadi penyebab lain dari pelacuran yang
 terjadi. Hasil studi beliau menyatakan bahwa prostitusi sudah terjadi 
sejak lama saat buruh imigran Cina dan Portugis datang, hingga era 
modern saat pelacuran menjadi alat kekuasaan. Pola yang sama ditemukan 
(Andaya, 1998) pada wanita-wanita di Asia Tenggara yang dinikah dengan 
migran asing hanya untuk kebutuhan seksualnya yang pada akhirnya 
memunculkan prostitusi. 
Fakta tentang prostitusi 
sebagai media untuk melanggeng dan memperlancar kekuasaan juga 
diproteskan oleh seorang wanita Amerika, yang juga seorang prostitute, 
di tahun 1800an. Dia menyatakan kemunafikan aparat pemerintah yang 
berteriak menentang prostitusi sedang disaat yang sama memperoleh 
keuntungan darinya. Jika dilihat, apa yang terjadi di negara lain, di 
masa yang lain juga, terjadi pula di Dukuhseti, seperti yang diampaikan 
Prof. Koentjoro bahwa saat kampanye partai politik yang di tahun 1972, 
ketika pejabat-pejabat dari kabupaten atau yang lebih tinggi, 
gadis-gadis di desa tersebut diminta menjadi pagar betis upacara-upacara
 tertentu, yang kemudian atas perintah Kepala Desa juga dijadikan pemuas
 nafsu pejabat-pejabat tadi. Hal seperti ini juga berperan dalam 
memunculkan prostitusi.
Selain faktor itu juga ada 
faktor modelling. Anggapan perempuan di daerah tersebut bahwa kekayaan 
dan kemewahan adalah segalanya telah membuat praktek pelacuran semakin 
subur, dengan kenyataan kehidupan mereka bertambah baik membuat iri 
perempuan lain dan akhirnya juga terjun sebagai pelacur. Persaingan 
diantara mereka dapat terlihat dari adanya perilaku yang ingin 
memamerkan kekayaannya melalui rumah, perabotan rumah tangga yang mewah,
 mobil, dan lain-lain. Dengan melihat pelacur lain yang berhasil maka 
diikuti pelacur lain untuk lebih banyak menghasilkan uang bahkan diikuti
 oleh perempuan lain yang tertarik menjadi pelacur. Hal ini sesuai 
dengan teori belajar sosial atau modelling yang dikemukakan oleh 
Bandura.
Dari informasi yang diterima dapat diketahui 
ada perbedaan kondisi rumah para pelacur dengan penduduk desa biasa yang
 terlihat secara nyata bahwa rumah-rumah para pelacur terlihat lebih 
mewah dengan lantai keramik, bentuknya hampir sama yaitu bergaya modern,
 ada yang mempunyai parabola, mobil, isi rumah modern dan lengkap. 
Sedangkan penduduk lain terlihat seperti rumah-rumah penduduk pedesaan 
yang sederhana dengan lantai biasa (bukan keramik) dan bahkan ada yang 
masih berlantai tanah, dinding dari bambu serta beratap genteng biasa. 
Disini modelling juga terjadi saat menjadi prostitute atau pelacur 
seolah-olah dianggap menjadi cara yang paling cepat dan mudah dalam 
mendapatkan kemakmuran.
Informasi menarik lainnya 
adalah adanya satu Mesjid yang dibiayai pembangunannya oleh para pelacur
 di Desa Blingoh. Selain itu pada saat menjelang lebaran para pelacur 
yang bekerja di kota-kota besar akan pulang ke desa dengan membagikan 
hadiah berupa pakaian dan makanan yang dibawa dengan mobil truk lalu 
diberikan keadaan masyarakat setempat yang kurang mampu. Kehidupan 
sosial masyarakat berjalan dengan baik, adanya saling menolong antara 
yang mampu dan yang kurang mampu, komunikasi diantara mereka juga tidak 
mengalami kesulitan. Selain turut membangun rumah ibadah, mereka juga 
turut membantu pembangunan fisik desa serta turut menyumbang apabila ada
 perayaan hariharibesar, misalnya perayaan 17 Agustus. Diterimanya 
sumbangan dari prostitute itu secara tidak langsung juga menunjukkan 
bahwa mereka diterima, dan itu menjadi penguat atau menjadi 
reinforcement untuk mereka tetap berada di dunia itu.
Jadi,
 dari hasil wawancara diperoleh informasi penting menggambarkan adanya 
beberapa perilaku masyarakat desa yang terkait dengan praktek pelacuran,
 antara lain :
- Bahwa laki-laki di desa tersebut banyak yang malas bekerja lalu mereka menikahi wanita yang berpotensi secara fisik untuk melacur dan istrinya disuruh melacur dan dari situlah ia mendapatkan uang, ada pula laki-laki yang kerjanya mencari wanita-wanita yang mau disuruh melacur lalu dikirim ke Jakarta dan dari mengirim wanita-wanita tersebut kepada mucikari ia mendapatkan uang. Wanita yang menjadi pelacur sebelumnya menikah terlebih dahulu dan pada waktu menikah kebanyakan berusia remaja atau sekitar belasan tahun. Setelah menikah ada pula yang sampai mempunyai anak, kemudian menjadi pelacur baik di desa mereka sendiri atau ke Jakarta.
 - Ada dua jenis pelacuran di desa Dukuhseti, yaitu mereka yang berada di Jakarta, atau kota besar lainnya, tetapi sewaktu-waktu pulang dan membangun rumah, membeli sawah serta barang-barang mewah perabotan rumah tangga, dan ada pula yang menetap di desa. Dengan penghasilan dari melacur, kehidupan sosial ekonomi mereka berubah 180 derajat dari yang hidupnya hanya cukup untuk sehari-hari sampai mempunyai materi yang cukup dan bisa membeli barang-barang mewah yang sebelumnya tidak mereka miliki. Bagi pelacur yang menetap di desa mempunyai kebiasaan, menurut masyarakat desa memakai istilah “sandal” yaitu apabila di depan rumah/pintu ada sandal tergeletak itu berarti bahwa istri dari pemilik rumah tersebut sedang menerima “tamu” laki-laki lain.
 - Terdapat persaingan antar pelacur dalam mengejar materi terutama rumah dan perabotan rumah tangga yang tidak mau ketinggalan jaman, bentuk rumah dan dekorasi ada kesamaan. Dengan adanya persaingan ini mendorong mereka mencari uang sebanyak-banyaknya agar tidak ketinggalan dari pelacur lain dalam hal materi.
 - Wanita-wanita pelacur yang beraktivitas di luar desa, misalnya Jakarta, apabila mereka kembali ke rumah maka menjadi milik suami sepenuhnya dan tidak melacur selama berada di rumah. Namun demikian banyak pula terjadi perceraian yang disebabkan karena suami ketahuan berselingkuh dengan wanita lain dan mau menjadikan wanita simpanannya sebagai istrinya.
 - Wanita-wanita pelacur yang berhasil di luar daerah akan membawa teman-teman atau saudara untuk dibawa ke kota dan dijadikan pelacur. Hal ini karena tergiur oleh berlimpahnya harta dari hasil melacur. Praktek seperti ini telah mulai ramai sejak sekitar tahun 1970-an dikarenakan kehidupan mereka di desa yang miskin dan kecintaan terhadap materi sehingga menjadikan jalan pintas karena tidak mau bekerja keras tetapi ingin hidup mewah.
 
Selain
 itu ada beberapa pandangan/pendapat baik pelacur maupun suami mereka 
mengenai perilaku pelacuran yang mereka lakukan, yaitu :
- Wanita-wanita pelacur yang mempunyai anak tidak menginginkan anaknya menjadi pelacur juga, bahkan mereka menyekolahkan anaknya di luar desa mereka, biasanya mereka berhent melacur apabila anak-anak mereka sudah duduk di bangku SMU. Selain itu bagi laki-laki yang sering menggunakan jasa pelacur akan menghentikan perilaku ini apabila anak-anak mereka sudah menjelang dewasa atau setingkat SMU karena takut ketahuan oleh anaknya.
 - Para wanita pelacur dan sebagian masyarakat desa yang menganggap bahwa pelacuran itu tidak melanggar norma agama karena mereka merasa tidak merugikan orang lain dengan alasan mereka berbuat demikian karena dibayar. Sebagian laki-laki di desa tersebut juga beranggapan bahwa konsep pernikahan dan keperawanan tidak penting artinya karena memang tidak memahaminya. Bagi mereka yang penting adalah dapat berhubungan seksual dengan memuaskan.
 - Wanita-wanita pelacur banyak yang merasa berhutang budi kepada mereka yang justru menjerumuskan ke praktek pelacuran dengan alasan sejak mereka menjadi pelacur kehidupan sosial ekonomi keluarganya menjadi meningkat dan dapat menghidupi seluruh keluarganya.
 
Dengan memasuki dunia 
pelacuran, seorang perempuan di daerah tersebut dapat menghidupi 
keluarganya dengan mencukupi bahkan dapat menyumbang pembangunan desa, 
perayaan hari-hari besar, menyumbang untuk masyarakat kurang mampu 
bahkan pembangunan rumah ibadah. Laki-laki yang tidak mempunyai 
pekerjaan dan menikah hanya untuk mendapatkan keuntungan dari istrinya 
yang melacur merupakan salah satu indikator merosotnya nilai-nilai, 
moral dan agama. Masyarakat justru ada yang mendukung perilaku-perilaku 
tersebut dan inilah faktor penguat kegiatan pelacuran terus berlangsung.
Saran
Dibutuhkan
 penanganan yang terpadu dan melibatkan antara pemerintah, tokoh 
masyarakat dan ulama baik dari daerah setempat maupun bantuan 
pihak-pihak lain yang terkait untuk menekan tidak bertambah suburnya 
praktek pelacuran di daerah tersebut. Usaha demikian dapat dimulai 
dengan mencoba mengubah persepsi masyarakat akan pelacuran itu sendiri 
yang memang jelas-jelas bertentangan dengan norma-norma susila dan 
keagamaan dan tidak memberi dukungan terhadap apa yang mereka lakukan. 
Bahkan bukan saja bertentangan tetapi apabila dilihat dari sudut 
pendidikan, sosial, kesehatan, kewanitaan dan perikemanusiaan, pelacuran
 merupakan perilaku yang merusak moral anak-anak yang dalam tahap 
belajar, juga penyakit sosial yang dapat menimbulkan berbagai penyakit 
seksual, menghina kewanitaan dan merendahkan martabat manusia. Kesadaran
 akan semua ini perlu ditanamkan pada masyarakat setempat, walaupun akan
 memakan waktu yang cukup panjang.
Agar tidak ada 
penguatan dan justifikasi terhadap prostitusi, aparat pemerintah dari 
tingkatan apapun dan juga masyarakat harus bisa menolak pemberian dalam 
bentuk apapun yang sekiranya berasal dari dunia prostitusi. Di saat yang
 sama, pemerintah juga harus merangkul mereka, memberdayakan mereka, 
memberi pelatihan-pelatihan yang memungkinkan mereka mendapatkan uang 
yang sama banyaknya dengan saat menjadi pekerja seks. Keberhasilan itu 
akan menjadi model yang baik, yang akan mendorong prostitute lainnya 
untuk mentas dari wilayah tersebut. 
Dengan adanya 
otonomi daerah, baik aparat birokrasi di tingkat pusat maupun propinsi 
tidak perlu lagi mempunyai obsesi untuk menyusun suatu model program 
atau proyek pembangunan kesejahteraan sosial berskala nasional padahal 
untuk keperluan lokal. Untuk itu, perlu pembentukan pola pikir baru 
yaitu “Think Nationally, Act Lokally”, artinya aparat birokrasi pusat 
hanya cukup membuat konsep pembangunan makro sebagai rambu nasional, 
sementara aparat birokrasi di daerah bersama-sama dengan dan/atau 
masyarakat setempat menyiapkan model proyek lokal yang sesuai dengan 
kondisi setempat tetapi tetap mengacu kepada kepentingan nasional.
Terakhir,
 bagi para peneliti lainnya, harus diingat bahwa penelitian ini belum 
komprehensif selain karena hanya dilakukan dalam jangka waktu yang 
pendek, satu hari. Selain itu responden yang diwawancarai hanya enam 
orang. Begitu juga keterbatasan dalam proses wawancara dikarenakan 
dilakukan secara bersama-sama dan juga ketiadaan alat perekam untuk 
menyimpan data dari kata-kata interviwee. Dengan fakta tersebut, perlu 
diadakan penelitian lanjutan yang lebih mendalam dan menyeluruh untuk 
mendapatkan data dan hasil penelitian yang lebih sempurna. 
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed
 K Soeriwidjaja, Ahmed K. dan Aries Margono. Jika Wanita Diibaratkan 
Sepetak. Diambil dari 
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1989/08/26/PRK/mbm.19890826.PRK21158.id.html
Alam, AS. 1984. Pelacuran dan Pemerasan. Bandung; Alumni.
Andaya,
 Barbara Watson. 1998. From temporary wife to prostitute: sexuality and 
economic change in early modern Southeast Asia. Journal of Women's 
History 9.4 : 11+. Gale Arts, Humanities and Education Standard Package.
 Diambil dari 
http://find.galegroup.com/gps/infomark.do?&contentSet=IAC-Documents&type=retrieve&tabID=T002&prodId=IPS&docId=A20470602&source=gale&srcprod=SP01&userGroupName=kpt07001&version=1.0
Azalleaislin. 2010. Bangga jadi Ayam Abu Abu. Diambil dari  http://sosbud.kompasiana.com/2010/07/25/bangga-jadi-ayam-abu-abu/
Brewer,
 Devon D., Stephen Q. Muth, and John J. Potterat. 2008. Demographic, 
biometric, and geographic comparison of clients of prostitutes and men 
in the US general population. Electronic Journal of Human Sexuality 11. 
Gale Arts, Humanities and Education Standard Package. Diambil dari 
http://find.galegroup.com/gps/infomark.do?&contentSet=IAC-Documents&type=retrieve&tabID=T002&prodId=IPS&docId=A228436030&source=gale&srcprod=SP01&userGroupName=kpt07001&version=1.0
Chatterjee,
 Ratnabali. 1992. Indian prostitute as a colonial subject: Bengal 
1864-1883. Canadian Woman Studies 13.1 : 51-5. Gale Arts, Humanities and
 Education Standard Package. Diambil dari 
http://find.galegroup.com/gps/infomark.do?&contentSet=IAC-Documents&type=retrieve&tabID=T002&prodId=IPS&docId=A30087299&source=gale&srcprod=SP01&userGroupName=kpt07001&version=1.0
Departemen Sosial RI. 1999. Menuju Masyarakat yang Berketahanan Sosial, Pelajaran dari Krisis. Jakarta.
Hoofdredacteur.
 2007. Bandung Kota Wisata Tubuh; Sebuah Pengantar. Diambil dari 
http://argusbandung.blogspot.com/2007/05/bandung-kota-wisata-tubuh-sebuah.html
Hull,
 Terrence H; Sulistyaningsih, Endang dan Jones, Gavin W. 1997. Pelacuran
 di Indonesia. Jakarta; Pustaka Sinar Harapan bekerjasama dengan Ford 
Foundation.
Kartono, Kartini. 1981. Patologi Sosial. Jakarta; Rajawali.
Lie,
 John. 1995. The Transformation of Sexual Work in 20th-century Korea. 
Gender & Society 9.3 : 310+. Gale Arts, Humanities and Education 
Standard Package. Web. 13 Nov. 2010. Diambil dari 
http://find.galegroup.com/gps/infomark.do?&contentSet=IAC-Documents&type=retrieve&tabID=T002&prodId=IPS&docId=A17135114&source=gale&srcprod=SP01&userGroupName=kpt07001&version=1.0
Miller,
 Heather Lee. 2000. The Prostitution of Women and Girls.  Journal of 
Women's History 12.2 : 222. Gale Arts, Humanities and Education Standard
 Package. Diambil dari 
http://find.galegroup.com/gps/infomark.do?&contentSet=IAC-Documents&type=retrieve&tabID=T002&prodId=IPS&docId=A65278532&source=gale&srcprod=SP01&userGroupName=kpt07001&version=1.0
Moleong, Lexy J. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja RosdaKarya.
Rsd.
 2007. Germo dan Enam “Ayam Abu-abu” Kediri Ditangkap di Hotel Crown. 
Diambil dari http://www.kapanlagi.com/h/old/0000173465.html.
Sarwono, Sarlito Wirawan. 1995. Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada.
Siregar, Ashadi; Purnomo, Tjahjo. 1985. Dolly, Membedah Dunia Pelacuran Surabaya. Jakarta; Grafiti Press.
Siswono, Soejono Dirjo. 1977. Pelacuran Ditinjau dari Segi Hukum dan Kenyataan dalam Masyarakat. Bandung; PT. Karya Nusantara.
Wakhudin.
 2006. Proses Terjadinya Degradasi Nilai Moral pada Pelacur dan 
Solusinya (Thesis). Bandung: Program Studi Pendidikan Umum. Sekolah 
Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Diambil dari 
http://kumpulan-artikel-menarik.blogspot.com/2008/08/sekilas-sejarah-pelacuran-di-indonesia.html
3 comments:
Jual Obat Aborsi Klinik Aborsi Tuntas http://klinikaborsijanin.com Obat Penggugur Kandungan ,
Jual Obat Penggugur Kandungan ,
artikel dan tulisan luar biasa.bisa di katakan potret dukuhseti dan kecmatan dukuhseti secara umum.jika betul iya berapa persen dari masyrakat setempat.
bagaimana faktanya????????
Setiap daerah mempunyai sisi negatif dan positif.pengangkatan sisi negatif tanpa di imbangi sisi positif bisa di katakan tidak adil.
kami mempertanyakan psikologis dari penulis diatas.
wah padahal di kembang dukuhseti itu pusatnya santri, ada pondok gede. ternyata banyak juga prostitusi di sana, saya sbg tetangga desa malah baru tau.
Tapi apa bener di kembang aja yang banyak prostitusi, di tempat lain di Pati apa ngga sebanyak yang ada di kembang dukuhseti?
Post a Comment